sanggauberbudaya.go.id – Pada zaman dahulu orang orang bertani dengan membuat ladang, mereka membuat ladang dengan cara berpindah pindah, ladang tersebut ditanami padi, selain menanam padi mereka juga menanam tanaman pendamping seperti jagung, sayur sayuran dan juga ubi kayu.
Cerita ini sering diceritakan oleh orang tua kepada anak anak pada waktu musim panen dari generasi ke generasi berikutnya.
Setelah cukup umur, padi pun mulai berbunga dan berbuah, bulir padi mulai menguning lalu masak, padi yang masak mulai dipanen oleh para petani. namun ketika panen masih ada juga tangkai padi yang buahnya belum masak benar lalu dibiarkan dulu sampai buahnya sudah masak. Tangkai atau buah padi yang belum masak itu disebut ”MPURAE”.
Padi yang telah dipanen itu dibawa pulang dan disimpan di lumbung (JUROANG). Lumbung itu khusus tempat menyimpan padi. Kemudian setelah dianggap MPURAE itu sudah masak, petani pun pergi untuk memanennya kembali.

(Ilustrasi) Momen Gawai Adat Dayak Nosu Minu Podi tahun 2019 di Rumah Betang Ponoriu Lintang Kapuas, Sanggau (4/7/2022), foto : christtcg.
Alkisah, Pada suatu hari ada seorang nenek pergi ke ”BAWAS” atau bekas ladang untuk mengambil sayur sayuran. Ketika nenek tiba di bawas, ia mendengar tangisan anak kecil. Kemudian pergilah nenek mencari sumber suara dan menemukan seorang anak menangis di bawah pohon ubi kayu. Lalu nenek itu bertanya kepada anak itu,
Nenek : ”Mengapa kamu menangis disini nak?”
Anak : ”Saya menangis karena ditinggalkan oleeh orang tua saya di sini”.
Nenek ; ”Jikalau begitu kamu boleh pulang ikut nenek saja.
Lalu anak itu mengikuti nenek tersebut untuk pulang bersama nenek tersebut. Anak itu boleh tinggal dirumah nenek sampai dia besar. Selama tinggal dan hidup bersama nenek, nenek tidak bertanya kepada anak itu siapakah orangtuanya dan dari manakan orangtuanya berasal.
Karena rasa sayangnya kepada anak tersebut, nenek pun tidak bertanya nama anak tersebut dan hanya memanggilnya dengan sebutan nak atau anak saja. Demikian juga dengan anak tersebut hanya memanggil nenek tersebut dengan sebutan nek atau nenek saja.
Mereka berdua tinggal dirumah ”BATANG”. Rumah tersebut terdiri dari 3 bagian bangunan.
- Bagian dalam terdapat pintu yang dibatasi dengan dinding bilik tempat keluarga masing masing berdiam
- Bagian tengah dibuat khusus untuk orang lewat
- Bagian depan adalah serambi khusus dan ruangannya berbentuk terbuka dan luas serta tanpa dinding pembatas, diperuntukan sebagai tempat untuk warga bermusyawarah, menerima tamu dan tempat melaksanakan acara hajatan dan sebagainya.
Pada suatu hari anak itu meminta nenek untuk menyediakan sebuah ayunan untuk dirinya, nenek juga diminta untuk menyediakan tikar dan di hamparkan tepat di bawah ayunan tersebut. Nenek mengikuti semua yang di minta oleh anak tersebut, Ketika anak itu berayun, gugurlah biji-biji padi dari jari jari tangan dan kakinya sampai ke badannya berubah menjadi butir-butir padi.
Seketika itu juga nenek tersebut sadar bahwa anak yang hidup bersamanya adalah Dewa Padi dan sadar bahwa padi itu sendiri mempunyai semangat atau roh (MINU). Oleh sebab itu kita tidak boleh membuang padi sembarangan karena padi mempunyai roh / semangat. Maka jika ada butir padi, butir beras atau nasi yang terjatuh, harus segera kita ambil dan pungut, kemudian kita panggil semangatnya baru bisa diberikan kepada ayam atau binatang peliharaan.
Cara memanggil semangatnya seperti ini :
…..Kuuuuuurrrr sumangat……….
dalam bahasa dayak pandunya
…iiiiikkkk minu podi… (jika ia padi)
…iiiiikkk minu boras …(jika ia beras)
…iiiikkk minu tubi ’ ..(jika ia nasi )
Nosu adalah memanggil
Minu berarti roh/ semangat
( dilafalkan seperti biasa, tanpa ada tekanan pada rongga hidung )
Kuuurrr atau iiiikkkk berarti kembalilah
Podi berarti padi
Namun minu sendiri berarti menebas
(dilafalkan dengan tekanan pada rongga hidung sehingga berbunyi agak sengau )
Mindu berari juga semangat dalam bahasa Dayak Ribun
Jadi dapat diartikan bahwa NOSU MINU PODI adalah PESTA MEMANGGIL ROH/ SEMANGAT PADI. Pesta ini diadakan sebelum orang membuka lahan baru untuk membuat ladang berikutnya. Pesta dalam bahasa setempat disebut GAWAI.
Sebelum hari gawai atau pesta, seorang nenek harus pergi ke BAWAS menuju pondok ladang dengan membawa Romaakng dan batok kelapa atau tempurung kelapa yang sudah dibersihkan, ditutup dengan kain kuning untuk menyimpan semangat atau MINU’ PODI yang masih tinggal diladang untuk di bawa pulang kerumah dan disimpan diatas padi dalam lumbung / jurokng tersebut.
Juak kecil itu disebut romaakng dihiasi dengan bunga yang biasa ditanam diladang dengan mahkotanya yg berumbai-rumbai seperti benang warna kuning dan meraah. Nama bunga itu adalah NGKOMAAKNG.
Pada hari gawai tiba, beberapa tamu atau tetangga diundang untuk ikut makan dan minum tuak didalam lumbung padi, sebelumnya makanan dan minuman itu sudah disediakan dan khusus di bawa ke lumbung untuk dimakan bersama disana sebagai tanda syukur atas keberhasilan panen padi mereka sebelumnya.
Demikianlah riwayat GAWAI NOSU MINU PODI menurut adat dayak secara garis besar. Kata NOSU MINU sendiri adalah bahasa yang dipakai oleh beberapa sub suku dayak dikabupaten Sanggau, yaitu : Jangkang, Ribun, Pandu, Kodaant, Pompakng, Entakai dan beberapa sub suku dayak yang mendiami wilayah Kabupaten Sanggau.